Manaqib dalam bahasa Arab artinya "jalan di atas gunung" atau
"tanjakan"; "tingkatan" atau istilah sekarang
"up-grading".
Adapun istilah Manaqib yaitu : Perkara yang sudah diketahui bahwa keluarnya
perkara itu dari hal yang terpuji dan dari budi pekerti yang baik. Bisa juga
disebut tanda keagungan.
Dalam manaqib ada tiga kandungan :
1. Riwayat;
2. Karamat;
3. Wasiyat
Hukum membaca Manaqib adalah sunat, karena Manaqib bisa menjadikan kifarat dari
dosa, seperti hadits yang disampaikan oleh Ahmad dan Tabrani yang bunyinya :
"Memperingati orang-orang sholeh akan memperoleh kifarat dosa dan pada
peringatan tersebut akan turun rahmat dan memperoleh barokah"
Ahli Thoreqat Qoodiriyyah Naqsyabandiyyah biasa menjalankan wiridan membaca
Manaqib, utamanya mengharapkan barokah dan rahmat dari Allah, dengan ternaungi
oleh karamat dari yang memiliki Manaqib itu.
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ......
"Dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah
kembali, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan ". (Q. S.
31 Luqman ayat 15).
Kesimpulannya Orang beriman, di samping harus ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya,
juga harus mengikuti jalannya orang-orang yang sudah taqorrub kepada Allah,
yaitu para Auliya Allah. Oleh karena itu jelas bahwa hukum membaca Manaqib itu
"Sunat".
Yang memiliki Manaqib itu bukan hanya para Wali saja, akan tetapi para Sahabat
Muhajirin dan Anshor juga memiliki Manaqib (Kitab Bukhori Juz 4). Dengan
demikian jelas bahwa Manaqib itu ada dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Oleh karena itu, kepada orang yang mewiridkan membaca Manaqib jangan
dibid'ahkan, karena semua itu hanya sebagai mengingat-ingat akhlaq para
Sholihin dan Sodiqin, agar kita dapat mencontoh kepada mereka, karena mereka
juga meniru akhlaq Nabi SAW.
Orang yang mengikuti kepada orang yang meniru kepada Nabi SAW adalah sama saja
dengan orang yang meniru kepada Nabi SAW, karena menurut Qoidah ahli Munatiqoh
: Annal mundarija fil mun dariji mundarijun tahta dzali kassae'i. Kesimpulannya
: Seandainya kita meniru/mengikuti perjalanan Wali-wali Allah, itu sama dengan
meniru kelakuan Rasulullah SAW, sebab kelakuan para Wali, tidak keluar dari
dasar-dasar Al-Qur'an dan Sunnah, karena Allah tidak menjadikan seseorang jadi
Wali melainkan karena mereka taqwa kepada Allah, sebagaimana Firman Allah:
إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ
لَا يَعْلَمُونَ....
"......Orang-orang yang berhak menguasainya, hanyalah orang-orang yang bertakwa
".
(Q. S. AI-Anfal ayat 34). [1]
Dengan demikian, siapa saja yang cinta kepada para Wali, sama dengan cinta
kepada Nabi SAW. Sebaliknya apabila ada yang membenci/tidak menyenangi kepada
para Wali, itu sama saja dengan membenci/tidak menyenangi kepada Nabi SAW dan
siapa saja yang membenci Nabi SAW sama dengan menantang perang kepada Allah.
Jadi untuk yang membenci/anti Manaqib para Wali, sama dengan menantang perang
kepada Allah.
Di dalam manaqib itu mengandung hikmat dan karamat. Dalam hal ini banyak
hal-hal yang tidak dimengerti oleh akal, tidak terjangkau oleh ilmu, malahan
seolah-olah keluar dari syari'at.
Sabda Syekh Abdul Qoodir AI-Jaelani: "Apabila kamu sekalian mendengar
bermacam-macam ucapan atau sebagian ucapan yang keluar dari para ahli Tasawuf
dan para ahli Ma'rifat yang sempurna, yaitu dengan para Wali yang dhohimya
seperti tidak mufakat dengan syari'at yang menunjukkan dari perkara yang
menjadikan sesat, harus tawaquf. Apabila kamu sekalian bukan ahli ta'wil,
memohonlah kepada Allah yang Maha Mulia agar supaya kamu diberi petunjuk kepada
hal-hal yang kamu tidak mengetahui."
Sebenarnya, sebagian ucapan para Wali itu,
disamarkan sehingga tidak dapat segera dapat difahami, akan tetapi sebenarnya
secara hakikat mufakat dengan Al-Qur'an dan Hadits. Karena itu bagi yang orang
yang selalu menyalahkan ucapan-ucapan para Wali, termasuk kepada sebagian
orang-orang yang sakit bathinnya (hatinya).
Menurut Firman Allah dalam AI-Qur'an :
"Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya
".
Juga Firman Allah :
Juga Firman Allah :
وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
".....Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan
berkata :"Ini adalah dusta yang lama ". (Q.S. 46 AI-Ahqaf ayat 11) [2]
Begitulah orang-orang yang anti pada Manaqibnya para Wali, seperti ucapan kaum
Quraisy yang tidak beriman kepada Rasulullah SAW, demikian pula orang-orang
yang anti terhadap Karamat para Wali.
Apabila ada orang yang berkata: "Masa iya ada Wali melebihi dari pada
Nabi, seperti Syekh Abdul Qoodir ketika menghidupkan lagi orang yang sudah mati
menyebut "Qum bi idzni", sedangkan Nabi Isya a.s. mengucapkan
"Qum bi idznillah ".
Ucapan tersebut di atas tidak lain karena "tidak tahu", lalu
mengejek, mencaci, padahal artinya karamat itu adalah perkara yang keluar dari
adat kebiasaan.
Ucapan Syekh Munawi : "Tidak akan ingkar pada karamat, melainkan orang
yang tidak ingat kepada Allah. Sebenarnya segala apa kelakuan atau suatu
kejadian itu adalah perkara yang keluarnya dan Wali Allah yang diridloi oleh
Allah
.
Lihat Hadits Qudsi : "Setiap abdi, sangat taqorrub kepada Allah dengan
menjalankan sunah-sunah, oleh karena itu Allah meridloi kepada abdi tersebut.
Segala macam perkara yang khowariq, jangan dikejar untuk dimengerti oleh akal,
cukup didasarkan kepada kekuasaan Allah, sebagaimana Firmar Allah dalam
AI-Qur'an : menjadikan sekehendakNya, dan menghukum sekehendakNya. Jangan
bertanya tantang segala yang diciptakan Allah.
Apabila ada yang anti pada karamat, sama saja dengan anti kepada Al-Qur'an
karena dalam Al-Qur'an banyak ayat yang menunjukkan adanya karamat, seperti
Asop bin Barkhoya panglimanya Nabi Sulaiman a.s. dapat memindahkan istana Ratu
Bilqis dalam sekejap mata, atau Ashabul Kahfi berada di dalam gua selama 309
tahun, atau Siti Maryam kapan saja akan bersantap selalu datang hidangan secara
ghaib. Semua itu Karamat, karena semuanya terjadi bukan dari Nabi.
Apabila saja ada yang tidak percaya pada karamat, sama saja dengan mendustakan
pada Al-Qur'an. Sekali lagi dijelaskan bahwa membaca Manaqib itu adalah bukan
"mengkultuskan" atau "mendewa-dewakan", akan tetapi sekedar
mencontoh atau meniru Sholihin, agar supaya kita dapat meniru pada akhlaq
mereka, yang sampai dapat gelar "Kekasih Allah ".
Sumber : Buku Bidayatussalikin (Belajar Ma'rifat Kepada Allah). H. Syihabuddin
Suhrowardi. Ajengan Citungku Ciamis. Terbitan PT.MUDAWWAMAH WARAHMAH Pondok Pesantren Suryalaya
Keterangan:
[1] Keseluruhan dari Ayat suci Al-Qur'an tersebut adalah :
وَمَا لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ
وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ ۚ
إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Kenapa Allah tidak mengazab
mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidilharam, dan
mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak
menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa. tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui. (Q. S. 8 AI-Anfal ayat 34)
[2] Keseluruhan dari Ayat suci Al-Qur'an tersebut selengkapnya adalah :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ ۚ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ
فَسَيَقُولُونَ هَٰذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
Dan orang-orang kafir berkata kepada
orang-orang yang beriman: "Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang
baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena
mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: "Ini
adalah dusta yang lama" (Q.S. 46 AI-Ahqaf ayat 11)
0 komentar:
Posting Komentar