Berikut petikan wawancara Abdullah Alawi dari NU Online bersama
KH Luqman Hakim beberapa waktu lalu dalam sebuah acara pertemuan para
sufi dunia di Jakarta yang diselenggarakan oleh PBNU.
|
Bertasawuf tanpa bertarekat adalah nol= |
Bagimana kaitan antara tasawuf dan tarekat?
Orang yang bertasawuf tapi tidak bertarekat, itu nol. Orang bertarekat, tapi tak bertasawuf, juga nol.
Penjelasannya bagaimana?
Kalau orang bertasawuf saja, tapi tidak berthariqah, dia akan sulit
mengamalkan ilmunya. Jadi, ibarat begini, untuk masuk ke dalam Masjidil
Haram, lho pintunya kok banyak banget ini. Padahal dia kan
butuh satu pintu saja untuk masuk. Nah, kalau dia ngawur, malah dia
ingin manjat. Masjidil Haram masa dipanjat. Padahal udah ada pintunya.
Atau begini, orang banyak sekali memiliki bumbu. Bumbunya sudah lengkap.
Ini ilmunya sudah lengkap. Gimana ya, ngulek ini? Oh, dia
butuh seorang pemandu. Kalau bikin sayur asem itu, ini bumbunya. Kalau
sayur lodeh itu, ini bumbunya. Kalau dia ngawur, wah, saya punya bumbu
lengkap. Saya bikin makanan yang lengkap juga. Semua bumbu diulek semua
di situ. Begitu dimasak, rasanya jadi heran.Nggak kemakan. Banyak orang mabuk dia, sinting dia, nah, itu syetan masuk.
Tapi kalau sebaliknya, thariqah tanpa ilmu tasawuf itu bagaimana?
Artinya dia, ibaratnya, dia nggak tahu makanan itu beracun apa nggak.
Dia nggak tahu porsi maknnya seberapa. Padahal kalau anda misalnya, mas
ini satu meja ini berbagai makanan untuk anda. Kalau orang tidak punya
tasawuf, ini milik saya semua. Makan semua kalau begitu. Keracunan dia.
Padahal yang dibutuhkan satu piring. Ambil saja yang pas. Udah. Walaupun
itu milik anda semua. Masak anda makan semua? Kalau nggak ada ilmunya,
bisa-bisa begitu, kan.
Kalau sudah berthariqah, bukannya sudah berguru, dan kalau sudah berguru, bukannya secara otomatis sudah dibimbing?
Artinya, kalau gurunya, pasti sudah bertasawuf. Muridnya juga dibimbing
bertasawuf. Diajarin ngaji, ini itu, itu sekaligus bertasawuf. Maksudnya
begitu.
Di NU ada Jam’iyah Ahlu Thoriqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman).
Nah, di Jatman terdiri dari berbagai thariqah. thariqahnya yang mu’tabaroh. Berarti kalau ada mu’tabaroh ada yang ghairu mu’tabaroh
Jadi, tarekat itu begini, mu’tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu hanya soal silsilah, sanad. Ada yang disebut tidak mu’tabaroh karena ada toriqoh yang sanad tidak jelas sampai ke Rasulullah. Kalau silsilah sanadnya ‘an ini ‘an ini sampai Rasulullah, jelas betul, sohibul musnid ini
bener-bener diakui, oh ya, ini memang benar dari Rasulullah. Misalnya
orang bikin sanad sendiri, nggak jelas, nggak dikenal semua, ya nggak
mu’tabar. Gitu aja. Seperti hadist sohih,daif, hasan dan seterusnya.
Yang berhak mengatakan mu'tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu siapa?
Itu kesepakatan kaum sufi, seperti kesepakatan ahli hadis. Ahli hadist sendiri menentukan ini sahih, ini daif, itu kan bukan dari Kanjeng Nabi. Itu kan kesepakatan komunitas aja.
Setuju dengan adanya label ghair mu’tabaroh kepada kalangan sufi tertentu?
NU menolak memasukan sebagai toriqoh mu’tabaroh karena sanadnya
ada yang tidak sampai Rasulullah. Jadi seperti itu. Banyak orang, oh
saya mau bikin majlis zikir, itu bagus. Tetapi tidak disebut sebagai
toriqoh, kan begitu aja. Jadi beginilah, di toriqah itu kan ada
amaliyahnya. Amaliyahnya itu memang dari Rasulullah.
Diajarkan langsung?
Iya. Melalui zikir. Zikirnya begini. Rasulullah dulu mengajarkan kepada
para sahabat itu ada yang satu per satu dipanggil. Ada yang lima orang
dipanggil. Sepuluh orang dipanggil. Nah, dari masing-masing itu,
mengajarkan pula kepada tabi’in ada yang satu per satu. Nah, ini kenapa sehingga toriqoh itu jadi banyak.
Tapi kenapa penamaan thariqah, misalnya pas zaman Syeikh Abdul Qodir, sementara dia lahir jauh masa Nabi?
Makanya penamaan itu pun tidak mutlak. Suatu ketika, sebenarnya alurnya
ini sama dengan Syekh Abdul Qodir, tapi suatu ketika tokoh utamanya,
misalnya Tijani, syekh Tijani. Padahal dia sebelumnya, adalah orang
Qodiriyah. Itu contohnya. Jadi, ada yang alurnya nanti sanadnya ada yang
melalui Abu Bakar, melalui Sayidina Anas, Sayidina Ali. Nah, ini
sanadnya itu tadi, sayidina Umar, sayidina Utsman pun ada. Ada yang
Uwais al-Qorony, ada. Nabi itu kenapa berbeda-beda ngajarin zikir karena
masing-masing harus mengamalkan menurut format sakilah. Sakilah itu
menurut kemampuan indiviidual, spiritual masing-masing yang
berbeda-beda. Oh, ini yang pas zikirnya Allah saja. Yang ini La Ilaha
Illallah. Ini solawatnya begini.
Solawatnya kadang berbeda-beda
Berarti kalau begitu, Nabi Muhammad itu sebagai, katakanlah seorang mursyid itu mengetahui watak para sahabat?
Lha iya. Dan seorang mursyid yang benar harus tahu si murid,
calon murid ini bentuknya gelas, apa piring, apa coet. Oh, kalau piring,
nasi isinya. Jangan coca cola. Kalau gelas ya, minuman, jangan diisi
sambel.
Tapi ada yang harus dibacakan secara umum oleh murid-murid di seluruh thariqah?
Ya, kalau umum itu, kalau makan itu, ibarat nasinya. Nasinya sama, lauknya yang berbeda-beda. Seorang mursyid harus tahu.
Dan itu sudah ada dalam diri mursyid ya? Nggak bisa dipelajari?
Makanya di Al-Quran, surat Kahfi itu, disebutkan waman yudlil falan tazida lahu, waliyyam mursyida.
Siapa yang hidupnya dholalah, tersesat, maka dalam hidupnya tidak akan
menemukan waliyyan mursyida. Seorang wali yang mursyid. Syarat seorang
mursyid harus wali. Banyak wali, tapi belum tentu mursyid.
Banyak
mursyid, belum tentu wali.
Bagaimana penjelasannya?
Kan banyak mursyid-mursyid itu. Belum tentu dia itu, memiliki kapasitaswaliyyan mursyida.
Kalau begitu, tipikal mursyid itu bagaimana?
Mungkin dia masih punya mursyid lagi. Dia hanya diberi lisensi untuk
ngajarin thariqah. Tapi posisinya ini bukan mursyid, sebenarnya. Tapi
ada yang mengaku mursyid, begitu.
Kayak khalifah, begitu, ya?
Iya. Khalifah ya khalifah.
Kalau nggak salah, saya pernah mendengar tipikal mursyid yang kamil mukamil?
Kamil mukamil itu sama dengan waliyyam mursyida.
Ada kamil. Ada mukammil?
Kamil mukamil adalah mursyid yang sudah paripurna. Suduh wushul dia
sendiri kepada Allah dan diberi opsional, yang memang dari Allah juga
untuk membimbing seseorang supaya sampai juga kepada Allah, jiwanya.
Sempurna dan juga bisa menyempurnakan orang lain mukammil lighairih.
Pak, kalau melihat sejarah, tasawuf dan kalangan tarekat pernah
dituding sebagai penyebab kemunduran umat Islam? Bagaiamana ini, pak?
Itu akibat tekanan sosial, politik, ekonomi, macam-macam, lalu dia lari
ke tarekat, dalam kondisi ekslusif. Ada lagi yang dia memang, dia
memerankan betul bahwa thariqah itu sebenarnya Islam yang utuh. Jadi,
begini, saya sering menggambarkan proses spiritualnya Nabi, di dalam
Isra’ Mi’raj. Nabi, ketika mi’raj itu meninggalkan semuanya. Segala hal
selain Allah ditinggalkan. Ketika begitu, kelihatannya ekslusif, nih.
Begitu ketemu Allah, rupanya belum puncak. Oleh Allah, kamu sekarang
dapat tugas, balik ke dunia. Orang sufi yang benar, dia kembali ke
dunia. Iya, menjadi biasa lagi. Tidak tampilnya eksklusif. Ini belum
selesai nih tasawufnya. Apalagi yang mazdub, wah… belum selesai. Proses.
Justru ketika Nabi ketemu Tuhan itu bukan puncak, ya?
Bukan. Puncaknya ya ketika kembali ke dunia. Tapi ke dunia bersama Allah sehingga rahmatan lil alamin.
Anggapan penyebab kemunduran umat Islam itu bagaimana?
Itu yang diamati sufi-sufi yang belum selesai tadi.
Kalau misalnya seseorang, saya misalnya, dengan cara yang entah,
kemudian, tiba-tiba bisa ketemu seorang mursyid itu karena apa?
Ya macam-macam. Orang bertemu seorang mursyid itu karena macam-macam.
Faktor itu nggak bisa kita duga. Bisa karena kita mencari, baru ketemu.
Ada orang yang ngak sengaj, ketemu. Ada orang yang, begini, ibarat
berjalan. Ada orang tiba-tiba ketemu di jalan. Ada yang bisa
tiba-tiba-tabrakan di jalan.
Lho, siapa ini? Mursyid ternyata.
Itu udah petunjuk Tuhan?
Ya. Cara Allah saja. Tapi kalau orang yang sedang mencari mursyid, itu
biasanya ditaqdirkan berthariqah. Tanda-tandanya begini. Kalau belum
ketemu, itu soal lain. Suatu ketika akan berthariqah.
Bapak sendiri pengamal thariqah juga?
Ya ada. Sadziliyah, Qodiriyah, Naqsyabandiyah. Tiga.
Bisa mengikuti tiga thariqah berbarengan?
Asal mursyidnya satu. Ibarat kapal, ini ada kapal, sekoci-sekoci, tapi
nakhodanya satu. Kalau oh ini ada kapal, kapal, nakhodanya
sendiri-sendiri, nggak bisa.
Naik sebelah mana? Atau satu nih,
nakhodanya banyak. Bingung. Nggak bisa. Silakan kita belajar kepada
ulama, kiai, macam-macam ilmu pengetahuan. Tapi soal toriqoh, mursyidnya
harus satu.
Kenapa?
Kalau belajar itu kan ibarat membuat menu yang bagus. Ibarat mobil,
bengkel sana yang bagus, bengkel sini yang bagus. Tapi tujuan mobil ini
kemana, ini harus ada satu tujuan.
Bukannya tujuan setiap thariqah itu sama? Menghadap Gusti Allah?
Semua sama. Ini berkaitan dengan mursyid itu harus satu. Hati kita itu menolak untuk terbelah, sebenarnya.
Mursyidnya siapa, Pak?
Syekh Solahudin Abdul Jalil Mustaqin dari Tulung Agung.
Ada tokoh sufi atau buku yang paling dikagumi?
Saya sangat mengagumi kitab al-Hikam.
Ibnu ‘Athoillah?
Ya.
Kenapa?
Karena Ibnu ‘Athoillah itu menyederhanakan wacana tasawuf yang universal
sekali, disederhanakan beliau. Dari satu hikmah ke hikmah lain itu
adalah urutan perjalanan psikografic para penempuh jalan Allah.
Mengalami semua. Semua pengamal thariqah mana pun, mengalami seperti
yang di al-Hikam itu. Ada lagi satu kitab, yang saya terjemah juga ke
Indonesia, yaitu Risalatu Qusyairiyyah. Kitabnya al-Qusyairi itu kitab
utama dalam dunia sufi. Ada lagi kitabnya Abu Thalib Al-Makki. Saya juga
kagum sama tafsirnya Syekh Abdul Qodir Al-Jilani, yang enam jilid, yang
baru ditemukan oleh cucunya itu. Kitab tafsir yang terbaik di dunia,
sekarang ini, karena memadukan syariat dan tasawuf.
Apa nama tafsirnya, Pak?
Tafsir al-Jilani.
Kok bisa baru ditemukan, Pak?
Ditemukan oleh cucunya selama 30 tahun riset beliau dari berbagai perpustakaan di dunia, dan terbagus, terlengkap di Vatican.
Berceceran begitu, ya?
Iya.
Di Sunda, Manaqib Syekh Abdul Qodir Jilani dinamakan Layang Syekh.
Itu sudah menyunda sekali. Orang sudah nggak paham, bahwa dulunya ini
kegiatan orang thariqah. Itu bagaimana?
Itu nggak apa-apa. Ibaratnya begini, kalau toriqoh itu sebuah
pohon, Qodiriyah, pohon ini, berbuah. Dia hanya memetik salah satu
buahnya saja. Tapi tidak bisa diklaim ini adalah sebuah pohon, daun,
bunga, dan buah. Salah satu buah saja.
Kalau yang semuanya, ya masuk thariqah itu?
Iya. Kita berharap sebanrnya, pelajaran tasawuf harus mulai masuk kurikulumnya mulai TK sampai perguruan tinggi Islam.
Pendidikan Akhlak, Akidah Akhlak yang ada sekarang itu nggak cukup?
Nggak cukup. Jadi, karena begini, kalau kita lihat buku agama, itu
isinya, iman, islam dan taqwa. Ihsannya itu hilang kemana. Hanya saja
bagaimana dirumuskan, tasawuf untuk anak TK itu bagaimana. Sebenarnya
yang mengajari akhlak juga sebanrnya buah dari tasawuf juga. Tapi harus
lebih diperdalam. Misalnya zikir apa yang bisa membimbing anak-anak itu
terus-menerus dengan Allah. Kalau saya begini, ngajarin tasawuf itu dari
bayi. Contohnya, biasanya ibu-ibu, kalau punya anak, selalu mengajari
anak-anak dengan ucapan bayi pertama kali; papa, mama, ibu, bapak, kalau
saya nggak. Kalimat yang diajarkan pertama adalah Allah. Entah
kedengarannya awoh, awoh, awoh. Allah.
Di pelajaran, ada iman, ada Islam, dan ihsannya nggak ada. Apakah
itu dimungkinkan karena tasawuf itu tidak terukur? Atau memang
bagaimana?
Karena memang belum tersistematisir. Seperti ketika dalam munculnya ilmu
tasawuf itu muncul baru di abad ketiga hijriyah. Kenapa tidak muncul di
zaman sahabat? Karena, kata NABI, sebaik-baik abadku, khoiru quruni,
qorni, tsuma qorni, tsuma qorni, tiga abad. Tiga abad ini, umat Islam
masih utuh. Setelah itu, nggak karuan akhlaknya. Inilah, para sufi
bergerak untuk mensistematisir, menulis buku tasawuf, ini, dan
seterusnya. Dulu kenapa nggak ditulis, nggak kayak fiqih? Lha, orang
kepribadiannya masih bagus semua, masih utuh.
Oleh Dokumen Pemuda TQN Suryalaya
0 komentar:
Posting Komentar