Asal-usul
tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad
ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di
negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah.
Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di
antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti
pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.
Dalam
mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan
pelatihan spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu
dalam ilmu suluk. Di samping itu beberapa di antara mereka mendapat
pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih, ilmu kalam, falsafah dan
tasawuf.
Pada
masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan
teori tentang maqam (peringkat kerohanian)
dan hal (jamaknyaahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang
ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf
ialah mahabba atau `isyq (cinta),fana` (hapusnya
diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang
Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal),
sertakasyf (tersingkapnya penglihatan hati).
Arti Tariqa /Tarekat
Kata al-tariqa berarti
jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian.
Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang
muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana
kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya
ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas
menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui
bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan
cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di
dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang
lain.
Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan
hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling
terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada
Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi
mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi,
melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin
perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan
dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam
perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka
menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan
salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.
Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf,
yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin
pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut
Tarekat Sufi.
Munculnya
tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang
merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan
‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba
duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai
organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’.
Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan
bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan
ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya
merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
Yang
disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk
kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang
berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan,
pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang
menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan
penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan
penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar
informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama
dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak
mereka.
Kanqah
Biasanya
sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang
memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi
banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan
lapisan elit masyarakat Muslim,
tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada
abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada
waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan
Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia.
Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah
mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan
pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah
satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan
agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat
subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan
organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi
ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang
lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi
menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata
takiyah, menyepi).
Tempat
lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan
tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi
atau barak militer.
Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi,
dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas
militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat
tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat
biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah,
masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur
umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu
pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat
setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak
orang.
Pada
abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta
ribat dan zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di
berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima
subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber
swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat.
Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh
(kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).
Salah
satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang
didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada
tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli
suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas
sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang
terkemuka disebut amir majlis.
Peranan
Sebagai
bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang
menjalankan kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu.
Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang juga ahli
psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam
tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam
cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat
di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani)
tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir.
Pada
mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian
diri atau jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang
ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh
menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun
harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.
Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:
1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.
2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.
Perbedaan
keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda.
Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri
dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan
pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model
Iraq menekankan pada sahw (sobriety).
Perbedaan
lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya
merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi
tentara.
Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah
pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan
berperanan sebagai rumah pristirahatan dan pertemuan informal.
Tarekat-tarekat
sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai
negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa
mendirikan organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang
disebut ta`ifa. Organisasi semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus
pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini
segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di antara tarekat-tarekat besar
yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak bermunculan
pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah,
Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat
Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya.
Pada
akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas
Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam
penyebaran agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan
hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan,
fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat
penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat
Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat
dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan
lain-lain itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di
istana, sehingga ketika istana dan kota dihancurkan mereka pun ikut
terbunuh.
Sebaliknya,
para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke
berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama.
Mereka memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan
murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut
mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran
ke berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para
pengikutnya.
Di
tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk
agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat
dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan
berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk
penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan.
Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa
Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam
kenyataan dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf.
Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari dalam kesusastraan
Melayu.
Tokoh-tokoh
mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai
ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis,
syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau
kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak
jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq
(logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan,
geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang
mereka menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal.
Dengan itu segera agama ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula,
terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan penduduk setempat dengan mudah
diintegrasikan ke dalam Islam.
(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John, “Sufism
as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961;
(3) Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie
Schimmel, Mystical Dimensions of Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf
Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah
Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A History of Sufism in India, 1978. AH
WM)
(Dokumen Wahyu Pratama di Grup Facebook Pemuda TQN Suryalaya )
0 komentar:
Posting Komentar